J Harry Priyanto (36) adalah perajin langka di pasar Jakarta yang makin kapitalis. Anti memakai mesin dan tetap setia membuat produk-produk dari kulit natural. Pelanggan tetapnya adalah pencinta fanatik kulit yang dimanjakan dengan ”harga pertemanan”. Kios Silole yang dikelola Harry di Pasar Seni Ancol buka 24 jam sehari dan tujuh hari dalam sepekan. Sebagian pelanggan sering kali menjadikan Kios Silole sebagai persinggahan sembari menunggu kemacetan lalu lintas Jakarta sedikit terurai.
Pada Kamis (23/5), suara ketukan palu dan tatah memecah kesunyian ketika Harry sibuk mengerjakan pesanan dompet dari Taiwan. Irama tok-tok-tok... dari palu yang beradu dengan tatakan kayu nangka itulah yang sering kali dirindukan para pelanggan Kios Silole.
”Pelanggan saya adalah orang- orang yang sudah bosan dengan barang bermerek yang diproduksi massal. Mereka ingin yang original, unik, dan bisa mencerminkan identitas diri,” kata Harry.
Pencinta kulit yang telah menjadi pelanggan Kios Silole selama 15 tahun, Gunawan, jatuh cinta pada karya Harry karena rapi dan murni dikerjakan tanpa mesin. ”Kalau pusing atau stres, saya ke sini untuk mengobrol dan melihatnya bekerja. Saya menghargai keahlian Harry,” ujar Gunawan.
Gunawan lalu menunjukkan tas-tas kulit kebanggaannya yang diproduksi Harry. Sebuah tas kerja milik Gunawan tampak mengilap seperti baru setelah proses pemeliharaan ulang dengan disemir. Koleksi Gunawan lainnya berbentuk koper kulit dibuat Harry selama sebulan penuh.
Dari tumpukan lembaran kulit kambing dan kulit sapi yang tertata rapi di rak, Gunawan lalu mengeluarkan lembaran kulit bison miliknya. Ia sengaja menitipkan sisa kulit bison yang diimpor dari Amerika Serikat itu di Kios Silole sambil menunggu ide baru.
Buatan tangan
Di kiosnya, Harry sama sekali tidak memiliki pola untuk membuat aneka produk kerajinan. Biasanya, ia bekerja berdasarkan pesanan konsumen. Saking dekatnya pertalian yang dijalin, Harry sudah hafal selera dari setiap pelanggan.
Pelanggan biasanya akan datang dengan membawa foto contoh produk kerajinan kulit yang diminati. Ada pula pelanggan yang memasrahkan kreasi sepenuhnya kepada Harry. ”Saya tidak menyimpan pola. Desainnya satu-satu sehingga tidak ada produk yang sama,” kata Harry.
Untuk memproduksi beragam produk kulit, Harry memilih untuk tidak menggunakan mesin. Ia mengawali pekerjaannya dengan membuat pola, menggunting kulit, lalu membentuknya menjadi produk sesuai dengan desain.
Seusai berproses dengan palu dan tatah, Harry menjahit kulit dengan menggunakan tangan. Jahitan tangan ini lebih kuat dibandingkan jahitan mesin. ”Rasanya remen (puas) bekerja dengan tangan,” ujar Harry.
Bahan baku kulit yang digunakan adalah kulit sapi dan kulit kambing lokal yang didatangkan dari Magetan, Jawa Timur. Sebagian pelanggan juga menggemari tekstur kulit bison yang diimpor dari Amerika Serikat lewat Italia.
Meski produk buatannya sangat digemari, Harry memilih tidak memasang label pada produk karyanya. ”Ada konsumen yang ngaku beli di luar negeri. Mereka masih gengsi pakai produk lokal,” ujar Harry.
Lewat promosi dari mulut ke mulut, produk buatan Harry digemari hingga mancanegara, seperti dari Singapura, China, dan Hongaria. Salah satu karyanya berupa meja dan bangku country dari kulit sapi dipasarkan di Terminal II Bandara Soekarno-Hatta sejak 12 tahun terakhir.
Harry mewarisi keahlian dari ayahnya yang mulai membuka kios di Ancol pada 1975. Awalnya, Kios Silole berlokasi di belakang gelanggang renang sebelum pindah ke Pasar Seni Blok A7.
Kala itu, sang ayah sempat kebingungan karena baru pertama kali merantau ke Jakarta. Ia lantas memberi nama Silole dari kata sandi rahasia prajurit Keraton Mataram. ”Silo” berarti bingung, sementara ”le” merupakan julukan untuk anak kecil.
Barang koleksi
Sejak ayahnya pulang ke Yogyakarta, Kios Silole lantas dikelola Harry mulai 1995. Pesanan individual dari konsumen mancanegara mulai mengalir sejak 2001. Konsumen asing menyukai produk yang bernuansa etnik.
Pelanggan lokal pun memilih produk-produk klasik dengan bahan baku kulit mentah. Mereka biasanya menyimpan produk kulit itu sebagai barang koleksi. Apalagi produk kerajinan kulit ini awet hingga puluhan tahun. ”Enggak akan ada puasnya kalau senang,” kata Harry.
Karena seluruh karyanya dibuat berdasarkan pesanan pelanggan, Harry sama sekali tidak memiliki produk ready stok atau siap jual. Pelanggan harus menunggu pesanannya selesai dikerjakan sekitar sepuluh hari untuk tas sederhana hingga satu bulan untuk produk rumit seperti koper.
Untuk menjaga kualitas produknya, Harry memilih tidak mempekerjakan pegawai. Seluruh pesanan ia kerjakan sendiri. Saat ini ia juga membuat membuat dompet-dompet untuk segmen pasar anak muda yang dijual oleh tiga mahasiswa lewat tiga toko online berbeda.
Dari awalnya hanya membuat tas, produk kerajinan kulit Harry pun terus berkembang sesuai dengan permintaan konsumen. Ia, antara lain, pernah menerima pesanan sarung pistol dari kulit, tongkat komando berlapis kulit, dan set aksesori sepeda motor Harley Davidson.
Dengan relasi perajin-pembeli seperti sanak saudara, Harry menjanjikan produk kulit berkualitas unggul. Dan, tentu saja dengan harga lebih murah dibandingkan dengan produk kualitas serupa yang telah dilabeli beragam merek terkenal.
sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/05/26/10500692/Harry.Priyanto...Perajin.Langka.di.Pasar.Kapitalis
Comments
Post a Comment